Mataku masih sangat lengket tak bisa terbuka saat kudengar dering ringtone hapeku berbunyi, melantunkan lagu Story Of The Year yang berjudul Divide and Conquer. Dengan malas kuraih hapeku yang berada di meja belajarku. Layar hapeku memunculkan nama si penelpon. Azha, sepupuku yang sekaligus sahabatku.
“Hai, Zha,” sapaku masih setengah sadar.
“Lagi ngapain, Va?” tanya Azha dari seberang telpon.
“Baru bangun,” jawabku.
“Ya ampuuuun jam segini anak gadis baru bangun?”
Azha, jangan mulai lagi deh. Beginilah seorang Azha yang masih keturunan keraton Jawa yang sangat kental dengan aturan-aturan layaknya seorang putri keraton. Nggak lama lagi pasti dia akan segera mengomeliku atau yang lebih parahnya lagi dia akan memberiku wejangan-wejangan khasnya tentang gadis itu harus begini, harus begitu. Nggak boleh begini, nggak boleh begitu.
“Yaaaa mumpung hari minggu. Sekali-sekali bangun siang kan gak ada salahnya.”
“Walau hari minggu nggak boleh males. Anak gadis itu harusnya bangun pagi, bersih-bersih rumah atau setidaknya kamar sendiri deh. Lalu bantuin orang tua bikin sarapan. Kalau bangunnya siang rejeki bisa dipatok ayam. Bukan cuma itu aja, jodoh juga jauh.”
“Terserah. Btw ada apa nih jam segini udah telpon? Kalau ngomongin hal nggak penting gue mending tidur lagi.”
“Gue dan anak-anak yang lain mau ngumpul di tempat biasa nanti sore, lo mau dateng kan?”
“Mmmh…ada acara apa sih?”
“Gak ada acara resmi sih, cuma pengen kumpul-kumpul aja. Udah lama kita gak kumpul. Kita juga kan mau tahu tentang perjalanan lo ke Madrid.”
“Gimana ya….”
“Masa’ lo nggak dateng sih?”
“Ya udah gue dateng.”
“Nah gitu dong. Itu baru Neva yang gue kenal.”
“Jam berapa?”
“Sekitar jam 3-an gitu deh. Gimana?”
“Oke, see u there.”
Haaaah sebenarnya aku malas sekali pergi, tapi aku juga kangen mereka. Sudah beberapa minggu aku tidak bertemu dan ngobrol dengan mereka setelah perjalananku ke Madrid sekitar 2 minggu yang lalu.
***
Tepatnya 17 hari yang lalu aku dan kakakku, Nena, terbang ke Madrid. Aku pergi dengan perasaan senang, walau tidak bisa dibilang sangat senang. Baru pertama kali kupijakkan kakiku di ibu kota Spanyol itu. Bahkan aku baru pertama kali pergi ke luar negeri tanpa orang tuaku karena orang tuaku bukan orang tua yang dengan gampangnya memberi izin kepada anak-anaknya pergi ke tempat yang sangat jauh seorang diri atau tanpa pengawasan orang dewasa, seperti orang tua dari kebanyakan temanku.
Saat itu udara di sana begitu dingin hingga menyusup masuk ke tulangku membuatku sedikit menggigil. Siang menjelang sore, Stadion Santiago Bernabue sudah penuh sesak. Aku duduk di salah satu bangku terdepan, menunggu sosok yang kucari ke luar dan berhambur ke tengah lapangan. Hal yang sama yang sering kulakukan di salah satu kota di Inggris dulu.
Manchester, kota yang sejak dulu sering kukunjungi. Awalnya karena sebagian keluarga Mamaku tinggal di sana. Setelah ada dia, alasan utamaku ke kota itu adalah melihatnya. Dia yang selalu nampak hebat di antara yang terhebat. Dia adalah sosok yang mampu memikat setiap orang yang melihatnya. Penuh energy dan optimis ia meliak liuk di tengah lapangan.
Namun setelah ia pindah, aku bahkan lebih memilih tetap di Jakarta bersama Azha dibanding ikut orang tuaku ke kota itu. Tak ada dia tak ada kunjungan. Sama seperti sebelumnya, tanpa dia kunjungan ke Manchester akan sangat membosankan.
Santiago Bernabue, pertama kalinya aku mengunjunginya di tempat barunya. Aku di sana untuknya, mendukungnya. Mungkin ia tidak akan pernah mengerti betapa aku sangat mendukung apapun yang menjadi keputusannya. Apapun keadaannya, sukses atau bahkan saat ia terpuruk aku akan selalu ada untuk memberikan semangat.
Akhirnya kulihat dia dan teman-temannya memasuki lapangan Bernabue yang luas. Ia masih sama seperti saat terakhir kulihat dia di Inggris. Senyumannya itu…sudah lama sekali tak kulihat. Layaknya penonton lainnya, aku pun tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel memberi semangat untuknya. Dingin yang semula membuatku begitu menggigil kedinginan tak kurasakan lagi. Aku terlalu sibuk menyemangatinya.
Namun ternyata hari kunjunganku ke Santiago Bernabue kali itu membuahkan kekecewaan untukku. Dia yang sejak dulu tampak hebat bahkan terkesan tak terkalahkan, saat itu ia sama sekali tak berkutik. Semangatnya kali ini tak mampu menunjukkan kehadapan khalayak betapa hebatnya ia dan betapa ia tak tertandingi. Walau selalu ada senyum yang terkembang indah di wajahnya, tapi aku tahu dia kecewa. Sangat.
Hingga pada akhirnya dia pulang dengan membawa serta senyum kekecewaan. Ia sempat tersenyum ke arahku, senyumnya itu yang semula selalu membuatku bahagia, kini terasa sangat sangat menyayat hatiku. Namun ia tetap yang tak terkalahkan.
***
Kuparkirkan mobilku di parking area luar gedung sebuah pusat perbelanjaan besar di Tangerang. Aku berjalan menuju tempat di mana teman-temanku menungguku saat ini.
“Hai, Va. Gimana perjalanan lo ke Madrid?” tanya salah satu temanku.
“Pasti asyik lah,” sahut yang lain.
“Yah biasa aja,” jawabku datar tanpa bermaksud meluapkan kekecewaanku pada mereka.
“Memangnya ada apa? Gue dengar katanya lo di sana cuma 2 hari padahal lo bilang lo mungkin bakal ngabisin beberapa hari di sana?” lainnya ikut berkomentar.
“Ngapain lama-lama, buang-buang waktu aja,” kali ini aku benar-benar tak mampu menyembunyikan kekesalanku lagi.
“Lo sempat ngeliat dia, kan?” Azha mulai mencium gelagatku.
“Iya…,”
“Lalu?” Azha makin penasaran.
“Semuanya nggak berjalan seperti yang gue harapkan. Timnya kalah, bahkan di kandangnya sendiri. Padahal, sebelumnya sebanyak 15 pertandingan mereka tak terkalahkan di Bernabue.”
“Mereka kalah? Dengan sederet pemain kelas dunia yang terkenal dengan bayaran selangit itu mereka bisa kalah?”
“Yap, bahkan dengan kondisi El Barca yang diperkuat Messi, Xavi, dan Puyol, sedangkan Iniesta baru masuk di babak kedua. El Clasico milik El Barca udah empat kali berturut-turut. Gelar El Real sebagai yang tak terkalahkan seketika memudar,” paparku.
“Yah payaaaah! Mending gue jagoin Barca aja lah.”
“Iya gue juga lah. Sekarang yang ada di puncak klasemen kan Barca.”
Segampang itu mereka membuang tim kesayangan mereka? Seketika kata mereka mengobarkan semangatku.
“Tapi La Liga masih menyisakan beberapa pertandingan lagi. Masih ada kesempatan untuk mereka bangkit dan merebut kembali posisi teratas tingkat klasemen. Dan yang terpenting dia, CR9 akan tetap menjadi yang terkalahkan bagi gue.”
Aku begitu bersemangat. Yap! Tak seharusnya aku meratapi kekalahan mereka, toh masih ada beberapa pertandingan lagi. Mimpi Real Madrid belum berakhir. Bahkan mereka akan kembali tak terkalahkan, khususnya di Santiago Bernabue.