“Astaga! Apa yang kamu lakukan?” teriak seseorang di
belakangku. Aku yang kala itu sedang mencangking
seekor anak kucing sedikit terlonjak kaget.
“Kamu akan apakan anak kucing itu?” tanya orang itu
semakin ketakutan. Dia ibuku.
“Sssst!” hanya itu yang keluar dari bibirku.
Kemudian tanpa memperdulikan suara teriakan ibu yang terus bertanya pertanyaan
yang serupa kusentuhkan kaki-kaki belakang anak kucing itu dalam nyala api. Ia
kemudian mengeong, menggeliat, dan berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku.
Tak berniat untuk menyudahinya aku malah menurunkannya lagi, kali ini api telah
mencapai bagian perutnya.
Tiba-tiba sebuah tangan tua yang sudah sedikit
keriput menarik tanganku dengan kasar. Ibu melepaskan cengkeramanku dari kucing
itu agar ia bisa segera berlari menjauh dariku. Seketika aku mengernyitkan dahi
saat melihat ibuku memasang mimik wajah kaget, takut, dan heran membaur menjadi
satu. Lalu dengan santai aku berdiri dan berlalu dari hadapan ibu.
Ibu mengejarku. “Ada apa denganmu? Mengapa kau
lakukan hal itu? Kau tahu betapa kejam perbuatanmu itu?”
“Aku tak bermaksud menyakitinya. Hanya saja ia
terlalu lemah untuk menjalani hidup.” Aku berlalu. Kemudian aku berbalik,
nampak ibu masih berdiri mematung seraya terus menatapku ngeri. Ada apa
dengannya? Kurasa ia tak perlu menatapku seperti itu. Tapi sepertinya aku sudah
merasa kebal dengan tatapan itu, aku sudah sering melihatnya sejak dulu.
Aku yang kujuluki sebagai Si Special ini bahkan sering mendapat tatapan itu bukan hanya dari
ibuku, tapi juga beberapa orang tua dari orang-orang yang pernah menjadi teman
satu sekolahku semasa kecil. Terkadang kupikir betapa mereka begitu tak
menyukaiku, tapi sesuatu yang ada di dalam kepalaku mengatakan hal lain. “Mereka
bukannya tak suka padaku, tapi mereka hanya merasa heran betapa spesialnya aku”,
itu katanya.
Sering kali kurasa tak membutuhkan teman walau
sejujurnya temanku memang lumayan banyak saat aku beranjak remaja. Tapi
menurutku temanku
adalah pikiranku sendiri, tempat bertanya mencari solusi maupun meredam
kekecewaan, rendah diri, dan kegelisahan. Terkadang aku merasa sangat kesepian,
bukan karena pengaruh lingkungan sekitarku atau apa. Tapi pada umumnya orang
lain tak mengerti bagaimana rasa kesepian, terasing, depresi, obsesive, dan
optimist yang muncul pada saat yang bersamaan.
Ibuku
pernah membawaku kehadapan seorang dokter. Seingatku wanita paruh baya itu membawaku
ke ruang rontgen. Keesokannya ibu
membawaku ke psikiater yang tak hentinya menanyaiku beberapa pertanyaan remeh
dan kemudian memintaku untuk mengemukakan pendapatku. Lalu aku disuruh
mengerjakan soal psikotest. Dan kemudian giliran ibu yang sering pergi entah
kemana. Aku sempat bertanya-tanya, mungkinkah ibu berfikir bahwa aku ini gila?
Entahlah.
Lalu kulihat ibuku sedang bicara dengan seseorang di
ruang tamu rumahku hari kesekian setelah akhirnya rutinitas gak jelas itu
selesai. Aku mampu mendengar percakapan mereka dengan jelas dari kamarku yang
berada dekat dengan ruang tamu. Wanita itu berkata pada ibuku bahwa aku ini
memiliki kelainan kejiwaan alias psikopat di mana penderitanya sering disebut
sebagai sosiopat.
Itukah aku? Saat itu aku sama sekali tak tahu
seperti apa persisnya penyakit itu. Tanpa berniat untuk bertanya aku pun segera
mencari tahu melalui jasa internet. Banyak dari mereka mengatakan bahwa
psikopat adalah gejala
kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan merugikan
masyarakat.
Mereka juga mengatakan bahwa
psikopat itu memiliki sifat pembohong, manipulatif, emosional, tanpa ekspresi,
sulit berempati, bahkan sering tersangkut kasus pembunuhan. Aku rasa aku tak
semenyeramkan itu. Aku bingung bagaimana seseorang bisa memberikan teori
ciri-ciri karakter psikopat dan menyelami perasaan dan pemikiran seorang
psikopat bila ia sendiri tidak mengalaminya?
Aku rasa aku bukan pembohong atau
hipokrit, bila tak ada yang perlu dibohongi aku tak akan melakukannya. Aku juga
bukan manipulator. Aku selalu bangga dengan hasil kerjaku, bahkan sangat
terobsesi melakukan sesuatu dengan caraku meski harus bertentangan dengan
peraturan. Aku tak selalu menanggapi semua persoalan dengan emosional. Justru
keadaan emosional itu mampu menghancurkan semua rencana yang telah kubuat dalam
1 jentikan jari. Tanpa ekspresi? Aku bahkan pernah menjadi seorang bintang di klub
drama SMAku dulu. Aku mampu berekspresi bahkan mengubah suasana hatiku sesuai
keinginan.
Adakalanya
penyakit ini menjadi beban bagiku, tapi terkadang rasa sakit bisa menimbulkan
sensasi luar biasa dan membuatku ketagihan. Kini aku mulai menikmati peranku sebagai
seorang psikopat. Bila di antara kalian ada yang seperti aku maka kalian akan
mengerti. Jangan menyamaratakan warna dari para psikopat.
Kisah ini ku dapat dari pengakuan seseorang di sebuah blog yang ku baca dan ku jabarkan dalam bentuk cerita pendek. Maaf kalau ada pihak yang merasa tersinggung, I really don't mean that.
0 comments:
Post a Comment