Thursday 7 June 2012

I’m Special


 “Astaga! Apa yang kamu lakukan?” teriak seseorang di belakangku. Aku yang kala itu sedang mencangking seekor anak kucing sedikit terlonjak kaget.
“Kamu akan apakan anak kucing itu?” tanya orang itu semakin ketakutan. Dia ibuku.
“Sssst!” hanya itu yang keluar dari bibirku. Kemudian tanpa memperdulikan suara teriakan ibu yang terus bertanya pertanyaan yang serupa kusentuhkan kaki-kaki belakang anak kucing itu dalam nyala api. Ia kemudian mengeong, menggeliat, dan berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. Tak berniat untuk menyudahinya aku malah menurunkannya lagi, kali ini api telah mencapai bagian perutnya.
Tiba-tiba sebuah tangan tua yang sudah sedikit keriput menarik tanganku dengan kasar. Ibu melepaskan cengkeramanku dari kucing itu agar ia bisa segera berlari menjauh dariku. Seketika aku mengernyitkan dahi saat melihat ibuku memasang mimik wajah kaget, takut, dan heran membaur menjadi satu. Lalu dengan santai aku berdiri dan berlalu dari hadapan ibu.
Ibu mengejarku. “Ada apa denganmu? Mengapa kau lakukan hal itu? Kau tahu betapa kejam perbuatanmu itu?”
“Aku tak bermaksud menyakitinya. Hanya saja ia terlalu lemah untuk menjalani hidup.” Aku berlalu. Kemudian aku berbalik, nampak ibu masih berdiri mematung seraya terus menatapku ngeri. Ada apa dengannya? Kurasa ia tak perlu menatapku seperti itu. Tapi sepertinya aku sudah merasa kebal dengan tatapan itu, aku sudah sering melihatnya sejak dulu.
Aku yang kujuluki sebagai Si Special ini bahkan sering mendapat tatapan itu bukan hanya dari ibuku, tapi juga beberapa orang tua dari orang-orang yang pernah menjadi teman satu sekolahku semasa kecil. Terkadang kupikir betapa mereka begitu tak menyukaiku, tapi sesuatu yang ada di dalam kepalaku mengatakan hal lain. “Mereka bukannya tak suka padaku, tapi mereka hanya merasa heran betapa spesialnya aku”, itu katanya.
Sering kali kurasa tak membutuhkan teman walau sejujurnya temanku memang lumayan banyak saat aku beranjak remaja. Tapi menurutku temanku adalah pikiranku sendiri, tempat bertanya mencari solusi maupun meredam kekecewaan, rendah diri, dan kegelisahan. Terkadang aku merasa sangat kesepian, bukan karena pengaruh lingkungan sekitarku atau apa. Tapi pada umumnya orang lain tak mengerti bagaimana rasa kesepian, terasing, depresi, obsesive, dan optimist yang muncul pada saat yang bersamaan.
 Ibuku pernah membawaku kehadapan seorang dokter. Seingatku wanita paruh baya itu membawaku ke ruang rontgen. Keesokannya ibu membawaku ke psikiater yang tak hentinya menanyaiku beberapa pertanyaan remeh dan kemudian memintaku untuk mengemukakan pendapatku. Lalu aku disuruh mengerjakan soal psikotest. Dan kemudian giliran ibu yang sering pergi entah kemana. Aku sempat bertanya-tanya, mungkinkah ibu berfikir bahwa aku ini gila? Entahlah.
Lalu kulihat ibuku sedang bicara dengan seseorang di ruang tamu rumahku hari kesekian setelah akhirnya rutinitas gak jelas itu selesai. Aku mampu mendengar percakapan mereka dengan jelas dari kamarku yang berada dekat dengan ruang tamu. Wanita itu berkata pada ibuku bahwa aku ini memiliki kelainan kejiwaan alias psikopat di mana penderitanya sering disebut sebagai sosiopat.
Itukah aku? Saat itu aku sama sekali tak tahu seperti apa persisnya penyakit itu. Tanpa berniat untuk bertanya aku pun segera mencari tahu melalui jasa internet. Banyak dari mereka mengatakan bahwa psikopat adalah gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan merugikan masyarakat.
Mereka juga mengatakan bahwa psikopat itu memiliki sifat pembohong, manipulatif, emosional, tanpa ekspresi, sulit berempati, bahkan sering tersangkut kasus pembunuhan. Aku rasa aku tak semenyeramkan itu. Aku bingung bagaimana seseorang bisa memberikan teori ciri-ciri karakter psikopat dan menyelami perasaan dan pemikiran seorang psikopat bila ia sendiri tidak mengalaminya?
Aku rasa aku bukan pembohong atau hipokrit, bila tak ada yang perlu dibohongi aku tak akan melakukannya. Aku juga bukan manipulator. Aku selalu bangga dengan hasil kerjaku, bahkan sangat terobsesi melakukan sesuatu dengan caraku meski harus bertentangan dengan peraturan. Aku tak selalu menanggapi semua persoalan dengan emosional. Justru keadaan emosional itu mampu menghancurkan semua rencana yang telah kubuat dalam 1 jentikan jari. Tanpa ekspresi? Aku bahkan pernah menjadi seorang bintang di klub drama SMAku dulu. Aku mampu berekspresi bahkan mengubah suasana hatiku sesuai keinginan.
Adakalanya penyakit ini menjadi beban bagiku, tapi terkadang rasa sakit bisa menimbulkan sensasi luar biasa dan membuatku ketagihan. Kini aku mulai menikmati peranku sebagai seorang psikopat. Bila di antara kalian ada yang seperti aku maka kalian akan mengerti. Jangan menyamaratakan warna dari para psikopat.


Kisah ini ku dapat dari pengakuan seseorang di sebuah blog yang ku baca dan ku jabarkan dalam bentuk cerita pendek. Maaf kalau ada pihak yang merasa tersinggung, I really don't mean that.




0 comments:

Post a Comment